BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia
mempunyai ideologi yang digali dari budaya Indonesia sendiri agar
warganegaranya mampu mencintai negaranya, dari dasar negara itu dibentuklah
suatu konstitusi yang berfungi mengatur seluruh jalannya pemerintahan. Salah
satu isi dari Konstitusi itu sendiri adalah kebijakan pemerintah tentang
berbagai bidang yang ada di Indonesia mulai dari bidang sosial, ekonomi,
budaya, dan sebagainya.
Lalu
bagaimana peran kebijakan pemerintahan Indonesia terkait Pendidikan
diIndoensia. Sejauh mana pemeritah
memajukan pendidikan diIndonesia yang terbilang masih jauh dari standar dengan
Negara tetangga lainnya. Pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan tentang
Kebijakan Pendidikan diIndonesia.
I.2
Ruang Lingkup Pembahasan
Pada Makalah kali ini saya akan
membahas tentang pengertian kebijakan pendidikan, fungsi kebijakan pendidikan,
kebijakan pendidikan diIndonesia, dan evaluasi kebijakan pendidikan.
I.3 Tujuan
A. Mahasiswa
mengetahui tentang kebijakan Pendidikan
B. Mahasiswa
mengetahui kebijakan pendidikan diIndonesia
C. Mahasiswa
mengetahui tentang evaluasi kebijakan pendidikan
BAB
II
ISI
II.1 Landasan Teori
A.
Pengertian
Kebijakan Pendidikan
Pengertian Kebijakan
Pendidikan Menurut Ahli – Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau
pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan. Secara umum kebijakan
atau policy digunakan untuk menunjukan perilaku seseorang aktor
misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun lembaga tertentu.
1.
Pengertian
Kebijakan Menurut Ahli
1)
Pengertian
Kebijakan Menurut (Noeng Muhadjir, 1993: 15) kebijakan
merupakan upaya memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat atas asas
keadilan dan kesejatheraan masyarakat. Dan dipilih kebijakan setidaknya harus
memenuhi empat butir yakni; (1) tingkat hidup masyarakat meningkat, (2) terjadi
keadilan : By the law, social justice, dan peluang prestasi dan
kreasi individual, (3) diberikan peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam
membahas masalah, perencanaan, keputusan dan implementasi) dan (4) terjaminnya
pengembangan berkelanjutan.
2)
Pengertian
Kebijakan Menurut Monahan dan Hengst seperti yang dikutip oleh
(Syafaruddin, 2008: 75) kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata)
diturunkan dalam bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dapat
ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintahan
mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam hal ini, kebijakan berkenaan
dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama
diterima pemerintah atau lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha
mengejar tujuannya.
3)
Pengertian Kebijakan
Pendidikan menurut Arif Rohman (2009: 108) kebijakan
pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada
umumnya. kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus
regulasi berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber,
serta pengaturan perilaku dalam pendidikan. Kebijakan
pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa pedoman
bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun
khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik
untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan
pendidikan.
4)
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa pengertian kebijakan merupakan
petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah dari tindakan yang dilakukan
dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku dan pelaksana kebijakan karena
sangat penting bagi pengolahan dalam mengambil keputusan atas perencanaan yang
telah dibuat dan disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan menjadi sarana
pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi.
2.
Kesimpulan Pengertian
Berdasarkan pada beberapa pandapat mengenai kebijakan
pendidikan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebijakan
pendidikan merupakan suatu sikap dan tindakan yang di ambil
seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya
untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan.
B.
Fungsi Kebijakan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau
restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga
dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik.
Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan,
prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan
sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta
interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh
melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making)
adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan
kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan
memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses
(transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik)
dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang
sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan
bagi pengambil keputusan (Pongtuluran, 1995:7).
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa
kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan
dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain,
kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada
semua jenjang organisasi.
II.2 Kebijakan Pendidikan
Salah satu tujuan
negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi
setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan
gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang
memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun
kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau
mereka yang tidak terjangkau.
A. Arah Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
1.
Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju
terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran
pendidikan secara berarti.
2.
Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta
meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik
mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan
budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3.
Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk
pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani
keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal
sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara
professional.
4.
Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun
luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta
meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan
prasarana memadai;
5.
Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan
nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
6.
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang
diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem
pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
7.
Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini
mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif
dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang
secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan
potensinya.
8.
Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia
usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.
B.
Kriteria
Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni :
1. Memiliki
tujuan pendidikan
Kebijakan
pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan, namun lebih khusus, bahwa kebijakan
pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi
aspek legal – formal
Kebijakan
pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra –
syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah
berlaku untuk semua wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat
konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah
sehingga dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut dan dapat
dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki
konsep operasional
Kebijakan
pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai
manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan
keputusan.
4. Dibuat
oleh yang berwenang
Kebijakan
pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada
pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan, dan
para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur – unsur
minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat
dievaluasi
Kebijakan
pendidikan itupun tentunya tidak lepas dari keadaan yang sesungguhnya untuk
ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan
jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan
pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadap
kebijakan pendidikan tersebut secara mudah dan efektif.
II.3 Kebijakan Pendidikan diIndonesia
Salah satu tujuan
negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi
setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama,
dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik
yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial
ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau
mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional
bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang
menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa
dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan
masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi
yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
A. Implementasi Kebijakan Pendidikan Indonesia
Salah
satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan
hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara
berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya
tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender.
Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki
hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala
geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang
tidak terjangkau.
Pendidikan
nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang
menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa
dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan
masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi
yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Dalam
mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari
implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh
pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut
merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus
sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan
pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat
dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat
dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi
melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah
sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang
mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program
MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah”
Dalam
konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif,
dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat
yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus
meningkatkan diri.
Tujuan
utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang
ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan
mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah,
peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan
suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi
masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah
pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan
potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk
memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan
pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada
profesionalisme. Berikut TIGA PILAR MBS (Manajemen Berbasis Sekolah):
1.
Manajemen Sekolah
a.
Kepala sekolah dan masyarakat sekolah dituntut untuk
menerapkan pengelolaan/manajemen sekolah yang transparan, akuntabel dan
partisipatif
b.
Kepala sekolah dan stafnya didorong berinovasi dan
berimprovisasi agar menjadi kreatif dan berprakarsa.
c.
Kepala sekolah dan masyarakat sekolah menjadikan
sekolah sebagai tempat perubahan.
2.
Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan
a.
Kepala sekolah dan guru harus memahami konsep belajar
dan cara belajar anak dan memandang anak sebagai individu yang unik yang
mempunyai kemampuan yang berbeda.
b.
Proses pembelajaran didesain dengan memanfaatkan
organisasi kelas agar guru dan siswa menjadi Aktif dan Kreatif yang mendukung
terciptanya pembelajaran yang Efektif namun tetap Menyenangkan (PAKEM).
3.
Peran Serta
Masyarakat
a.
Menggali inisiatif, prakarsa, dukungan, dan kontribusi
masyarakat untuk pendidikan sekolah.
b.
Masyarakat terlibat dan merasa memiliki sekolah.
c.
Sekolah yang paling berhasil & diminati masyarakat
adalah sekolah yang kepala sekolah, guru, dan masyarakatnya bekerjasama secara
aktif mengembangkan sekolah.
4.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat termasuk:
a.
Menggunakan jasa sekolah;
b.
Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga;
c.
Membantu anak belajar di rumah;
d.
Berkonsultasi masalah pendidikan anak;
e.
Terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler;
f.
Pembahasan kebijakan sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan,
sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling
lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan
sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif,
efisien, dan relevan dengan keperluannya.
Landasan yuridis atau kebijakan
pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan
yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia, yang menurut
Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah,
dan lainnya. Berikut landasan kebijakan pendidikan yang diselenggarakan di
Indonesia:
1. Dalam pembukaan UUD 1945: Atas berkat Ramat Tuhan yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
berkebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk statu pemerintahan
negara republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam statu undang-undang dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam statu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dab beradap, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan statu
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
2. Pasal 31 UUD 1945
menyatakan bahwa a) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; b)
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; c) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; d) Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; serta e) Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
3. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang: Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
menyatakan bahwa pendidikan nasional Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional. Pendidikan Pasal 1 yang berisi bahwa Standar nasional
pendidikan adalah criteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
B.
Evaluasi
Kebijakan Pendidikan
Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan
yang membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan
standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi
kebijakan kemudian akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu kegiatan
tertentu telah dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih antara
standar yang telah ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai.
1.
Cakupan Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi kebijakan pendidikan berada di
tingkat-tingkat nasional, wilayah dan daerah.Maka di setiap langkah
tersebut, evaluasi kebijkasanaan pendidikan dilaksanakan.Organisasi pendidikan
yang secara hierarkis mulai dari tingkat atas sampai pada tingkat bawah
sama-sama mengadakan evaluasi atas kebijakan yang dibuat masing-masing.
Menurut pendekatan input, keberhasilan sebelumnya
kebijakan banyak yang ditentukan oleh inputnya. Input pendidikan yang
heterogen haruslah dibuat satu persatu sebagai penyebab berhasil tidaknya
pendidikan, bermutu tidaknya lulusan pendidikan. Input pendidikan memang tidak
boleh dianggap sama. Meskipun mereka sama-sama anaknya, sama-sama manusianya,
tetapai haruslah diakui bahwa mereka mempunyai potensi bawaan, latar belakang
keluarga, status sosial ekonomi, lingkungan pergaulan, kekuatan tubuh dan
kondisi kesehatan yang berbeda-beda.
Menurut pendekatan tranformasi atau proses, implementasi
kebijakan pendidikan bergantung pada komponen-komponen transformasi yang ada di
lembaga pendidikan: guru, alat, sarana prasarana, biaya, pegawai, teknisi yang
ada di lembaga pendidikan, tingkat keterlibatan siswa di dalamnya dan
faktor-fakor adminstrasi. Apakah mereka berinteraksi secara maksimal, intensif
dan saling kondusif ataukah tidak, menentukan keberhasilan implementasi
kebijaksanan pendidikan. Oleh karena itu, evaluasi kebijakannya juga tertuju
kepada komponen dan proses transformasi tersebut.
Sedangkan menurut pendekatan output adalah
implementasi kebijakan pendidikan berkenaan dengan seberapa output pendidikan
telah teserap dengan baik, diakui mutunya oleh masyarakat serta mau belajar
sepanjang hayat sebagaimana misi hampir setiap usaha pendidikan. Oleh karena
itu, aksentuasi evaluasi kebijkasanaan pendidikan menurut pendidikan ini,
haruslah tertuju kepada keluaran pendidikan.
Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, dapat dibuat
pendekatan baru sebagai konvergensi atas pendekatan-pendekatan yang ekstrem
tersebut. Pendekatan baru ini, dalam mengevaluasi kebijakan pendidikan, selain
tertuju kepada inputnya juga tertuju pada proses dan outputnya.
Kebijakan pendidikan
dapat digolongkan berdasarkan substansi problema di sekolah, ialah
kebijakan di bidang-bidang: kurikulum dan pengajaran, peserta didik atau
kesiswaan, personalia, prasaran dan sarana, keuangan, hubungan sekolah dan
masyarakat dan kebijakan pendidikan khusus. Selain itu kebijakan pendidikan di
sekolah juga dapat diklasifikasikan berdasarakan proses manajemen di sekolah
adalah kebijakan-kebijakan di bidang: perencanaan pendidikan, pengorganisasian
pendidikan, kepemimpinan pendidikan dan pengawasan pendidikan.
2.
Problema Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Banyak problema yang dialami dalam aktivitas
mengevaluasi kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan. Problema-problema
tersebut ialah sebagai berikut:
1.
Bila tujuan kebijakan
tersebut tidak jelas. Ketidakjelasan tujuan demikian diakibatkan oleh
adanya kompromi dan konsensus yang dipaksakan pada saat formulasi kebijakan.
Kompromi dan konsensus demikian dipaksakan karena memang dimaksudkan untuk
mengakomodasi banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya. Tanpa adanya
kompromi-kompromi, bisa mejadi penyebab formulasi kebijakan tersebut tidak
disetujui oleh kebanyakan peserta kebijakan. Dan, jika tidak disetujui berarti
tidak dapat dilaksanakan. Maka dari itu, tujuan yang dirumuskan umumnya kabur
dan bisa bermakana ganda. Padahal gandanya makna justru menyukarkan
evaluasinya.
2.
Cepatnya perkembangan
masyarakat
yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Ini menyulitkan evaluasi kebijakan,
oleh karena itu masalah-masalah yang bermaksud dipecahkan oleh kebijakan
mungkin juga sudah berubah dan berganti dengan masalah yang lainnya.
Masalah-masalah yang bermaksud dipecahkan oleh formulasi dan implementasi
kebijakan sudah tidak ada, sementara masalah baru yang bahkan tidak ada
kaitannya dengan masalah lama muncul.
3.
Tak jelas masalahnya, sumber masalah dan
gejala masalahnya. Ketidakjelasan demikian bisa terjadi karena antara masalah,
sumber masalah, dan gejala masalah sudah tumpang tindih. Hal ini terjadi
karena masalah-masalah tersebut golongan masalah sosial, antara yang satu
dengan yang lain kadang-kadang saling interchange.
4.
Terkaitnya antara
masalah satu dengan masalah lain. Sebagai contoh: sukar memisahkan antara masalah
kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Sebab masyarakat yang bodoh dan
terbelakang cenderung miskin, dan sebaliknya pada masyarakat yang miskin juga
cenderung bodoh dan terbelakang.
5.
Subjektifnya masalah
kebijakan.
Ini dapat diketahui dari berbedanya masalah menurut persepsi orang satu dengan
menurut persepsi orang lain. Bahkan sesuatu yang oleh seseorang dianggap
sebagai suatu masalah yang harus dipecahkan, justru dianggap sebagai sesuatu
yang menguntungkan dan oleh karena itu harus dipertahankan.
BAB III
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
Kebijakan
pendidikan merupakan
suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan kesepakatan
kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu
persoalan dalam dunia pendidikan. Implementasi Kebijakan Pendidikan diIndonesia
banyak tercantum di UUD 1945 yang mengatur tentang jalannya pendidikan dari
mulai kurikulum hingga anggaran pendidikan. Evaluasi Kebijakan Pendidikan merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil
implementasi kebijakan dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya, evaluasi kebijakan
pendidikan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan untuk kebijakan-kebijakan
selanjutnya.
III.2
Saran
Mahasiswa diharapkan dapat kritis dan tanggap dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini sangat mempengaruhi perbaikan kebijakan
selanjutnya karena kritis dan tanggapnya respon masyarakat menjadi bahan
evaluasi bagi Pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Saleh, Syarif. 1963. Otonomi dan Daerah Otonom. Jakarta :
Penerbit Endang
Suryono, Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam
Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta. FIP UNY
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta.
Rineka Cipta
Wayong J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah.
Jakarta:Penerbit Djambatan