Saturday, January 16, 2016

MAKALAH PANCASILA KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

       Indonesia  mempunyai ideologi yang digali dari budaya Indonesia sendiri agar warganegaranya mampu mencintai negaranya, dari dasar negara itu dibentuklah suatu konstitusi yang berfungi mengatur seluruh jalannya pemerintahan. Salah satu isi dari Konstitusi itu sendiri adalah kebijakan pemerintah tentang berbagai bidang yang ada di Indonesia mulai dari bidang sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

       Lalu bagaimana peran kebijakan pemerintahan Indonesia terkait Pendidikan diIndoensia.  Sejauh mana pemeritah memajukan pendidikan diIndonesia yang terbilang masih jauh dari standar dengan Negara tetangga lainnya. Pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan tentang Kebijakan Pendidikan diIndonesia.

I.2  Ruang Lingkup Pembahasan 
            Pada Makalah kali ini saya akan membahas tentang pengertian kebijakan pendidikan, fungsi kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan diIndonesia, dan evaluasi kebijakan pendidikan.

I.3 Tujuan
A.  Mahasiswa mengetahui  tentang kebijakan Pendidikan
B.  Mahasiswa mengetahui kebijakan pendidikan diIndonesia
C.  Mahasiswa mengetahui tentang evaluasi kebijakan pendidikan
























BAB II
ISI
II.1 Landasan Teori
A.   Pengertian Kebijakan Pendidikan
Pengertian Kebijakan Pendidikan Menurut Ahli – Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan. Secara umum kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukan perilaku seseorang aktor misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun lembaga tertentu.

1.       Pengertian Kebijakan  Menurut  Ahli
1)    Pengertian Kebijakan Menurut (Noeng Muhadjir, 1993: 15) kebijakan merupakan upaya memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat atas asas keadilan dan kesejatheraan masyarakat. Dan dipilih kebijakan setidaknya harus memenuhi empat butir yakni; (1) tingkat hidup masyarakat meningkat, (2) terjadi keadilan : By the law, social justice, dan peluang prestasi dan kreasi individual, (3) diberikan peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam membahas masalah, perencanaan, keputusan dan implementasi) dan (4) terjaminnya pengembangan berkelanjutan.
2)    Pengertian Kebijakan Menurut Monahan dan Hengst seperti yang dikutip oleh (Syafaruddin, 2008: 75) kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dalam bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dapat ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintahan mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah atau lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya.
3)    Pengertian Kebijakan Pendidikan menurut Arif Rohman (2009: 108) kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya. kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.
4)    Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa pengertian kebijakan merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah dari tindakan yang dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku dan pelaksana kebijakan karena sangat penting bagi pengolahan dalam mengambil keputusan atas perencanaan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan menjadi sarana pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi.

2.    Kesimpulan Pengertian
Berdasarkan pada beberapa pandapat mengenai kebijakan pendidikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebijakan pendidikan merupakan suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan.

B.   Fungsi Kebijakan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan (Pongtuluran, 1995:7).
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.

II.2 Kebijakan Pendidikan
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
A.   Arah Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
1.    Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2.    Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3.    Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional.
4.    Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
5.    Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
6.    Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
7.    Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak  dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
8.    Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.

B.   Kriteria Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni :
1.   Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan, namun lebih khusus, bahwa kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2.   Memenuhi aspek legal – formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra – syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk semua wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah sehingga dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut dan dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3.   Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4.   Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan, dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur – unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5.   Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itupun tentunya tidak lepas dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadap kebijakan pendidikan tersebut secara mudah dan efektif.

II.3 Kebijakan Pendidikan diIndonesia
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.

A.  Implementasi Kebijakan Pendidikan Indonesia
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada profesionalisme. Berikut TIGA PILAR MBS (Manajemen Berbasis Sekolah):
1.    Manajemen Sekolah
a.    Kepala sekolah dan masyarakat sekolah dituntut untuk menerapkan pengelolaan/manajemen sekolah yang transparan, akuntabel dan partisipatif
b.    Kepala sekolah dan stafnya didorong berinovasi dan berimprovisasi agar menjadi kreatif dan berprakarsa.
c.    Kepala sekolah dan masyarakat sekolah menjadikan sekolah sebagai tempat perubahan.
2.   Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
a.   Kepala sekolah dan guru harus memahami konsep belajar dan cara belajar anak dan memandang anak sebagai individu yang unik yang mempunyai kemampuan yang berbeda.
b.   Proses pembelajaran didesain dengan memanfaatkan organisasi kelas agar guru dan siswa menjadi Aktif dan Kreatif yang mendukung terciptanya pembelajaran yang Efektif namun tetap Menyenangkan (PAKEM).
3.    Peran Serta Masyarakat
a.   Menggali inisiatif, prakarsa, dukungan, dan kontribusi masyarakat untuk pendidikan sekolah.
b.   Masyarakat terlibat dan merasa memiliki sekolah.
c.   Sekolah yang paling berhasil & diminati masyarakat adalah sekolah yang kepala sekolah, guru, dan masyarakatnya bekerjasama secara aktif mengembangkan sekolah.
4.   Bentuk-bentuk peran serta masyarakat termasuk:
a.   Menggunakan jasa sekolah;
b.   Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga;
c.   Membantu anak belajar di rumah;
d.   Berkonsultasi masalah pendidikan anak;
e.   Terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler;
f.    Pembahasan kebijakan sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.
Landasan yuridis atau kebijakan pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lainnya. Berikut landasan kebijakan pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia:
1.    Dalam pembukaan UUD 1945: Atas berkat Ramat Tuhan yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan berkebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk statu pemerintahan negara republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam statu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam statu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dab beradap, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan statu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
2.     Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa a) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; b) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; c) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; d) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; serta e) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
3.    UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
4.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan menyatakan bahwa pendidikan nasional Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional. Pendidikan Pasal 1 yang berisi bahwa Standar nasional pendidikan adalah criteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia

B.   Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi kebijakan kemudian akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih antara standar yang telah ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai.

1.  Cakupan Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi kebijakan pendidikan berada di tingkat-tingkat nasional, wilayah dan daerah.Maka di setiap langkah tersebut, evaluasi kebijkasanaan pendidikan dilaksanakan.Organisasi pendidikan yang secara hierarkis mulai dari tingkat atas sampai pada tingkat bawah sama-sama mengadakan evaluasi atas kebijakan yang dibuat masing-masing.
Menurut pendekatan input, keberhasilan sebelumnya kebijakan  banyak yang ditentukan oleh inputnya. Input pendidikan yang heterogen haruslah dibuat satu persatu sebagai penyebab berhasil tidaknya pendidikan, bermutu tidaknya lulusan pendidikan. Input pendidikan memang tidak boleh dianggap sama. Meskipun mereka sama-sama anaknya, sama-sama manusianya, tetapai haruslah diakui bahwa mereka mempunyai potensi bawaan, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi, lingkungan pergaulan, kekuatan tubuh dan kondisi kesehatan yang berbeda-beda.
Menurut pendekatan tranformasi atau proses, implementasi kebijakan pendidikan bergantung pada komponen-komponen transformasi yang ada di lembaga pendidikan: guru, alat, sarana prasarana, biaya, pegawai, teknisi yang ada di lembaga pendidikan, tingkat keterlibatan siswa di dalamnya dan faktor-fakor adminstrasi. Apakah mereka berinteraksi secara maksimal, intensif dan saling kondusif ataukah tidak, menentukan keberhasilan implementasi kebijaksanan pendidikan. Oleh karena itu, evaluasi kebijakannya juga tertuju kepada komponen dan proses transformasi tersebut.
Sedangkan menurut pendekatan output adalah implementasi kebijakan pendidikan berkenaan dengan seberapa output pendidikan telah teserap dengan baik, diakui mutunya oleh masyarakat serta mau belajar sepanjang hayat sebagaimana misi hampir setiap usaha pendidikan. Oleh karena itu, aksentuasi evaluasi kebijkasanaan pendidikan menurut pendidikan ini, haruslah tertuju kepada keluaran pendidikan.
Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, dapat dibuat pendekatan baru sebagai konvergensi atas pendekatan-pendekatan yang ekstrem tersebut. Pendekatan baru ini, dalam mengevaluasi kebijakan pendidikan, selain tertuju kepada inputnya juga tertuju pada proses dan outputnya.
Kebijakan pendidikan dapat digolongkan  berdasarkan substansi problema di sekolah, ialah kebijakan di bidang-bidang: kurikulum dan pengajaran, peserta didik atau kesiswaan, personalia, prasaran dan sarana, keuangan, hubungan sekolah dan masyarakat dan kebijakan pendidikan khusus. Selain itu kebijakan pendidikan di sekolah juga dapat diklasifikasikan berdasarakan proses manajemen di sekolah adalah kebijakan-kebijakan di bidang: perencanaan pendidikan, pengorganisasian pendidikan, kepemimpinan pendidikan dan pengawasan pendidikan.
2.   Problema Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Banyak problema yang dialami dalam aktivitas mengevaluasi kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan. Problema-problema tersebut ialah sebagai berikut:
1. Bila tujuan kebijakan tersebut tidak jelas. Ketidakjelasan tujuan demikian diakibatkan oleh adanya kompromi dan konsensus yang dipaksakan pada saat formulasi kebijakan. Kompromi dan konsensus demikian dipaksakan karena memang dimaksudkan untuk mengakomodasi banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya. Tanpa adanya kompromi-kompromi, bisa mejadi penyebab formulasi kebijakan tersebut tidak disetujui oleh kebanyakan peserta kebijakan. Dan, jika tidak disetujui berarti tidak dapat dilaksanakan. Maka dari itu, tujuan yang dirumuskan umumnya kabur dan bisa bermakana ganda. Padahal gandanya makna justru menyukarkan evaluasinya.
2. Cepatnya perkembangan masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Ini menyulitkan evaluasi kebijakan, oleh karena itu masalah-masalah yang bermaksud dipecahkan oleh kebijakan mungkin juga sudah berubah dan berganti dengan masalah yang lainnya. Masalah-masalah yang bermaksud dipecahkan oleh formulasi dan implementasi kebijakan sudah tidak ada, sementara masalah baru yang bahkan tidak ada kaitannya dengan masalah lama muncul.
3. Tak jelas masalahnya, sumber masalah dan gejala masalahnya. Ketidakjelasan demikian bisa terjadi karena antara masalah, sumber masalah,  dan gejala masalah sudah tumpang tindih. Hal ini terjadi karena masalah-masalah tersebut golongan masalah sosial, antara yang satu dengan yang lain kadang-kadang saling interchange.
4. Terkaitnya antara masalah satu dengan masalah lain. Sebagai contoh: sukar memisahkan antara masalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Sebab masyarakat yang bodoh dan terbelakang cenderung miskin, dan sebaliknya pada masyarakat yang miskin juga cenderung bodoh dan terbelakang.
5. Subjektifnya masalah kebijakan. Ini dapat diketahui dari berbedanya masalah menurut persepsi orang satu dengan menurut persepsi orang lain. Bahkan sesuatu yang oleh seseorang dianggap sebagai suatu masalah yang harus dipecahkan, justru dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan oleh karena itu harus dipertahankan.







BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Kebijakan pendidikan merupakan suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan. Implementasi Kebijakan Pendidikan diIndonesia banyak tercantum di UUD 1945 yang mengatur tentang jalannya pendidikan dari mulai kurikulum hingga anggaran pendidikan. Evaluasi  Kebijakan Pendidikan merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya, evaluasi  kebijakan pendidikan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan untuk kebijakan-kebijakan selanjutnya.

III.2 Saran
Mahasiswa diharapkan dapat kritis dan tanggap dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini sangat mempengaruhi perbaikan kebijakan selanjutnya karena kritis dan tanggapnya respon masyarakat menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah.




























DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Syarif. 1963. Otonomi dan Daerah Otonom. Jakarta : Penerbit Endang
Suryono, Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta. FIP UNY
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta
Wayong J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah. Jakarta:Penerbit Djambatan